Agresi Militer Belanda Kedua pada 19–20 Desember 1948

Foto : Agresi Militer Belanda Tahun 1947.


DPDGMNISULTRA.ID - Setelah mengabaikan usulan kompromis yang ditawarkan oleh pemerintahan Hatta, pada tanggal 17 Desember 1948 Belanda mengeluarkan ultimatum supaya pemerintah Republik menyetujui semua proposal yang diajukan Belanda dalam waktu delapan belas jam. Mereka sadar bahwa pemerintah Republik tidak akan mampu memberikan tanggapannya dalam waktu sesingkat itu.


Pada tanggal 18 Desember 1948 malam Belanda secara secara sepihak menyatakan pembatalan perjanjian gencatan senjata sebagaimana tercantum dalam perjanjian Renville. Tidak sampai sepuluh jam kemudian, yakni dinihari tanggal 19 Desember 1948,  militer Belanda melancarkan serbuan militer terhadap Republik Indonesia (Wardaya, 2008 : 66-67).


Pembatalan Belanda atas perjanjian Renville diterima di Yogyakarta pada pukul 05.30 pagi.  Serangan pesawat pembom Belanda buatan Amerika menyerang pangkalan udara terdekat. Setelah kekuatan pertahanan dihabisi dengan bom dan luncuran roket sekitar satu jam, 900 pasukan payung Belanda diterjunkan. Iring-iringan kendaraan tempur Belanda membawa pasukan dan logistik datang mengalir dari Semarang yang jauhnya 130 km.  Belanda juga mengerahkan pesawat pembom dan penembak roket P-51 dan Spitfires. Brigade Marinir dipersiapkan di pangkalan udara. Bom dan roket diluncurkan ke berbagai sasaran, terutama ke basis-basis militer di dalam kota (Kahin, New York Times, 20 Desember 1948).


Pada tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, Dr. Beel menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville. Sementara Amerika Serikat dan Australia meminta diadakan sidang Dewan Keamanan untuk membicarakan agresi Belanda di Indonesia.


Agresi militer dilancarkan oleh tentara Kerajaan Belanda untuk kedua kalinya dalam upaya merebut Ibu Kota RI di Yogyakarta ini dinamakan Operati Kraai (Operasi Gagak). Serangan  dilakukan pada pada tanggal 19 Desember 1948 dengan sasaran pertama lapangan terbang Maguwo (Lanuma Adisucipto). 


Beberapa jam kemudian tentara Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta dan menangkap beberapa pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Serangan ini merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian Renville yang ditandatangani tanggal 17 Januari 1948 antara pemerintah RI dan kerajaan Belanda. 


Sebelum ditangkap Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Menteri Perekonomian RI Mr. Syafruddin Pramiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat. Kalau tidak mungkin supaya Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di luar negeri untuk menggantikan Mr. Syarifuddin tersebut.


Kabinet Negara Indonesia Timur dan kabinet Negara Pasundan meletakkan jabatannya sebagi protes atas tindakan agresi tersebut. 

Belanda menamakan agresi kedua ini sebagai Aksi Polisionil II. Sementara sebagian sejarawan Indonesia menyebutnya sebagai Perang Kemerdekaan II (Masyhuri, 2024 : 167; Supeni, 2001 : 291-292).


Soekarno membuat surat kepada Duta Besar RI di New Delhi, India, Sudarsono, Menteri Keuangan AA Maramis dan staf Kedutaan RI LN Palar untuk membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India. Exile Government adalah pemerintah resmi suatu negara yang karena alasan tertentu tidak dapat menggunakan kekuatan legalnya. (Sumber: Canindonesia, 21 Juli 2021).

Posting Komentar

Sikahkan Komentar dengan baik dan beretika!!!

Lebih baru Lebih lama
close
Banner iklan disini