Foto: Sampul Buku Bisikan Nurani Seorang Jenderal. |
"Cerita A. H. Nasution digusur keluar oleh Prabowo dan Paspampres saat sedang shalat jenazah Adam Malik"
DPDGMNISULTRA.ID - Sikap kritisnya yang ditujukan kepada Soeharto membuat Abdul Haris Nasution menjadi sosok yang paling paling dibenci dan dikekang selama rezim Orde Baru berkuasa.
Kegiatannya mulai dibatasi, termasuk hak politik, hak mencari nafkah dan hak suaranya dikebiri habis-habisan oleh penguasa. Hukuman ini tak jauh beda dengan mereka yang dituduh sebagai anggota atau keluarga dari organisasi terlarang seperti PKI.
Padahal Nasution sebelumnya merupakan orang terdekat yang mendukung Soeharto untuk naik ke kursi kekuasaan.
Nasution jugalah yang mendorong Pak Harto, sapaan Soeharto, menjadi seorang Presiden. Boleh dibilang keduanya adalah sahabat dekat saat sama-sama menjadi prajurit di masa perang kemerdekaan hingga kekuasaan Orde Lama berakhir.
Keretakan keduanya makin menjadi saat Nasution ikut terlibat dalam Petisi 50. Petisi 50 adalah sebuah pernyataan keprihatinan yang ditandatangani oleh 50 tokoh sebagai reaksi atas pidato Presiden Soeharto yang berpidato mengatakan lebih baik menculik anggota² MPR supaya tidak tercapai 2/3 jumlah suara anggota MPR untuk mengamandemen UUD 1945.
Perlakuan secara fisik yang terburuk dialami A. H. Nasution saat sedang melayat ke mantan Wakil Persiden Adam Malik yang baru saja menghembuskan napas terakhirnya pada 1984.
Saat itu dirinya tengah mengikuti shalat gaib untuk menyalati jenazah Adam Malik, tapu baru saja mulai melaksanakannya dia malah digusur keluar.
Saat akan ditarik keluar, Nasution sudah dalam posisi takbiratul ikhram.
Tiba-tiba dia didorong keluar oleh anggota pasukan pengawal presiden (paspampres) termasuk Prabowo Subianto.
Dengan garang dan tidak sopan Prabowo menarik tangan Jenderal A. H. Nasution. Prabowo bilang: "Sudah jangan banyak bicara, saya yang kuasa di istana sekarang. Brengsek kau Nasution, keluar... keluar!!"
Di sinilah kelihatan mental Prabowo yang tidak punya sopan santun mentang-mentang anak-mantunya Soeharto.
Alasannya sangat remeh, dia usir Nasution keluar karena Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah akan datang ke rumah duka.
Mendapat perlakuan itu, Nasution mengaku hanya bisa mengelus dada. Dia pasrah untuk digusur keluar rumah duka.
"Waktu itu saya cuma bisa mengucapkan Astagfirullah al azhiem. Mau protes, protes sama siapa, sama Adam Malik? Enggak bisa," kenang Nasution seperti yang tertulis dalam buku Bisikan Nurani Seorang Jenderal.
Pada malam harinya pasokan air ledeng ke rumah Nasution pun diputus atas perintah Prabowo, sehingga ia harus membuat sumur sendiri. Selain itu media massa tidak diperbolehkan memuat wawancara dan tulisan Nasution.
Bahkan di Mesjid Cut Meutia yang ia bangun, pada setiap shalat Jumat tentara selalu mengintai dalam posisi siap tembak agar Nasution tak naik mimbar.
Cuma itu?
Tidak, Nasution juga tidak diperbolehkan memenuhi undangan keluarga Pahlawan Revolusi yang hendak mengadakan hajatan, walau rumah mereka tidak seberapa jauh dari rumah Nasution.
Nasution juga amat kesal ketika konsep Dwifungsi ABRI yang dia ciptakan untuk sekadar menyampaikan aspirasi ABRI dalam dunia politik, disalah-gunakan Soeharto untuk membuat ABRI lebih menopang kekuasaannya.
Selain itu Golkar yang Nasution dirikan dulu untuk membendung pengaruh PKI malah dijadikan mesin pengumpul suara dalam tiap pemilu oleh Soeharto dengan cara-cara yang tidak demokratis.
Akibatnya Nasution bersumpah tidak akan mengikuti pemilu selama Soeharto berkuasa walau halaman rumahnya sempat dijadikan tempat pemungutan suara.
Ketika Nasution sudah renta dan Soeharto merasa Nasution tidak perlu lagi ditakuti, Soeharto merangkulnya kembali dengan memberi gelar Jenderal Besar.
Nasution tetap mempergunakan pertemuan di balik pemberian gelar itu untuk menyampaikan masukan-masukannya, tetapi Soeharto tidak mau dengar, buru-buru pergi dengan alasan hendak buang air.
Atas berbagai hal yang menyakitkan yang ditimpakan Soeharto selama 20 tahun kepadanya, Nasution mengaku tidak dendam lagi.
"Saya tidak dendam. Jangankan pada orang yang menyiksa batin saya selama 20 tahun, pada orang yang telah membunuh anak sendri pun saya tidak dendam, pulang dari Pulau Buru (anggota Cakrabirawa) datang ke rumah minta maaf, ya saya maafkan."
Sebenarnya kalau Nasution berdiam diri dan menutup mata terhadap berbagai ketidak-beresan dalam pemerintahan rezim Soeharto, maka hidupnya akan jauh dari masalah.
Tetapi Nasution bukan tipe orang seperti itu, ia menolak bungkam walau tingkahnya berbuah derita panjang, sebuah sikap yang tidak bisa dimiliki sembarang orang.
Diambil dari Kutipan Buku "Bisikan Nurani Seorang Jenderal."(*)